Guru: Antara Disiplin
dan Penegakan Hukum
oleh Dodi Saputra
Guru MAN Insan Cendekia Padang Pariaman
Manusia memiliki
kebutuhan menuntut ilmu dimana pun berada. Ilmu yang didapat dari guru, maupun
yang di dapat dari alam dan pengalaman. Sejatinya, seorang pelajar yang
mendapatkan bimbingan dari guru, ia menyadari bahwa kecerdasannya semakin
bertambah dari waktu ke waktu. Namun, terdapat satu hal yang menggelengkan
kepala berkali-kali. Bukan hanya sekali, guru yang seharusnya dihormati dan
ditempatkan diposisi terhormat malahan menjadi korban Hak Azazi Manusia (HAM).
Banyak versi dalam melihat problem serupa ini. ada tanggapan dari
siswa/generasi muda dalam menentukan kata setuju atau tidak setuju. Dalam warta
beberapa waktu lalu terdengar bahwa guru divonis tiga bulan hanya gara-gara mencukur rambut salah satu siswanya. Guru tersebut harus duduk
dikursi pesakitan. Dalam persidangan, guru tersebut terbukti bersalah dan
divonis tiga bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan. Atas putusan
tersebut, si guru mengajukan banding. Setelah ditelusuri, ternyata guru itu tidak
menyangka bahwa sikapnya tersebut dinyatakan melanggar pasal 335 KUHP ayai 1 ke
1 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan kepada salah satu anak didiknya di
sekolah tempatnya mengajar.
Atas nama hukum,
tentu dilanjutkan ke tahap persidangan. Dalam sidang yang dipimpin oleh seorang
hakim ketua dinyatakan vonis tiga bulan penjara dengan masa percobaan selama
enam bulan. Selain itu, ia juga dikenai kewajiban untuk membayar biaya perkara
sebesar lima ribu rupiah. “Terbukti melanggar pasal 335 KUHP ayai 1 ke 1 KUHP
dan pidana penjara tiga bulan dan tidak perlu dijalankan,” demikianlah kata
Hakim ketua. Menanggapi vonis yang dijatuhkan hakim tersebut, si guru didampingi oleh
pengacaranya mengajukan banding. Sementara dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU)
sendiri, mengaku menerima vonis yang dijatuhkan oleh hakim tersebut. “Kami
menyatakan banding,” kata si guru di depan hakim. Sementara itu, kasus yang
menyeretnya berawal saat si guru melakukan kedisiplinan di sekolah tempatnya
mengajar yakni dengan cara memotong rambut siswa yang dinilai sudah panjang
pada tahun lalu. Dalam kegiatan tersebut, ia memotong sebagian rambut siswa dan
meminta agar siswa yang bersangkutan merapikannya di rumah. Namun, salah satu
orang tua siswa, tidak terima sikap dan kemudian menempuh jalur hukum.
Kronologi divonisnya guru di atas menjadi perspektif yang berbeda. Pertama, sebaiknya setiap sekolah dan perwakilan orang tua murid membuat aturan kedisiplinan lengkap dengan sanksinya. Dituangkan dalam Surat Kesepakatan yang ditandatangani oleh Murid dan Orang Tua (Wali) murid. Jika mencukur rambut tidak sesuai hukum yang lebih tinggi, maka dapat mengganti sanksinya dengan membersihkan toilet sekolah. Ini untuk mencegah saling tuntut dimeja hijau. Kedua, hal yang demikian itu merupakan arogansi guru. Seharusnya guru tersebut memberikan pengarahan dan peringatan. Bukan main potong separuh dan mempermalukan siswa. Apalagi disebabkan tidak adanya membuat perjanjian di atas materai. Apa salahnya siswa disuruh potong rambut terlebih dahulu, setelah itu baru masuk kelas lagi. Parahnya lagi, ada guru yg menyuruh siswanya memotong rambut dengan panjang satu sentimeter. Coba pihak guru membayangkan, mana yang lebih rapi, siswa yang memotong rambut satu sentimeter atau siswa yang memotong rambut sedikit panjang tapi lebih rapi dan enak dilihat, karena setiap orang belum tentu rapi apabila rambutnya pendek sekali disebabkan oleh bentuk kepala yang berbeda.
Kemudian terdapat peraturan
dari sekolah, bahkan ditentang oleh pihak lain. Ada sosok yang sebagai salah
satu orang yang mengerti hukum, melihat adanya ketidakpastian terhadap apa dan
siapa. Sebaiknya setiap sekolah memikirkan yang difungsikan kemampuan siswa
dalam memahami pelajaran bukan sibuk terhadap penampilan siswa. nantinya ketika
jadi mahasiswa juga rambut panjang karna setiap kampus mengerti akan hal itu
dan satu lagi ketika mereka sudah dewasa pasti ada keinginan untuk tidak lagi
panjang rambut, butuh waktu buat mereka menikmati masa muda yang mungkin jadi
bahan pelajaran ke depannya bagi mereka.
Ketiga, Sebenarnya setiap
peraturan sekolah selalu disosialisasikan terlebih dahulu kepada seluruh siswa
dan orangtua siswa. Peraturan sekolah juga disahkan bersama pengurus Komite
Sekolah sebagai perwakilan orangtua siswa. Selain itu, siswa pun selalu diingatkan agar mematuhi
peraturan sekolah. Lalu, apakah bisa dikatakan "arogansi" pada saat
guru mengambil tindakan pembinaan terhadap siswa yang tidak mengacuhkan
peraturan sekolah? Kalau begitu, apa gunanya dibuat peraturan, jika siswa boleh
melanggar seenak perutnya?
Dari beberapa perspektif tersebut, dapat dilihat bahwa memang begitulah kondisinya sekarang ini, kalau ada tanda tangan Wali Murid dan Murid, maka tuntutan di meja hijau akan mentah. Maklum zaman sekarang orang senang berperkara. Apalagi yang banyak uangnya. Biasanya setiap peraturan itu telah disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah dan juga orangtua siswa. Pemberian sanksi pun biasanya setelah melalui tahapan-tahapan yang sesuai prosedur tetap (protap) yang juga telah diketahui bersama. Di beberapa sekolah sering dilakukan razia rambut dan pemotongan rambut siswa. Sebelumnya sudah diingatkan kepada siswa yang rambutnya panjang agar memangkas sesuai ketentuan sekolah. Jika peringatan sekolah diabaikan juga, maka wajar kalau diberi sanksi. Tak ada disiplin tanpa penegakan aturan dan pemberian sanksi bagi pelanggarnya.
Ada baiknya, pendidikan
melihat kembali tentang disiplin sekolah sebagai usaha sekolah untuk memelihara
perilaku siswa agar tidak menyimpang dan dapat mendorong siswa untuk
berperilaku sesuai dengan norma, peraturan dan tata tertib yang berlaku di
sekolah. Menurut Wikipedia (1993) bahwa disiplin sekolah “refers to students complying with a code of behavior often known as the
school rules”. Yang dimaksud dengan aturan sekolah (school rule) tersebut, seperti aturan tentang standar berpakaian (standards of clothing), ketepatan waktu,
perilaku sosial dan etika belajar/kerja. Pengertian disiplin sekolah tersebut
kadang kala diterapkan pula untuk memberikan hukuman (sanksi) sebagai
konsekuensi dari pelanggaran terhadap aturan, meski kadang kala menjadi
kontroversi dalam menerapkan metode pendisiplinannya, sehingga terjebak dalam
bentuk kesalahan perlakuan fisik (physical
maltreatment) dan kesalahan perlakuan psikologis (psychological maltreatment), sebagaimana diungkapkan oleh Irwin A.
Hyman dan Pamela A. Snockdalam bukunya “Dangerous
School” (1999).
Berkenaan dengan
tujuan disiplin sekolah, Maman Rachman (1999) mengemukakan bahwa tujuan
disiplin sekolah adalah : (1) memberi dukungan bagi terciptanya perilaku yang
tidak menyimpang, (2) mendorong siswa melakukan yang baik dan benar, (3)
membantu siswa memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan
menjauhi melakukan hal-hal yang dilarang oleh sekolah, dan (4) siswa belajar
hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan bermanfaat baginya serta
lingkungannya. Sementara itu, dengan mengutip pemikiran Moles, Joan Gaustad (1992)
mengemukakan: “School discipline has two
main goals: (1) ensure the safety of
staff and students, and (2) create an
environment conducive to learning”. Sedangkan Wendy Schwartz (2001)
menyebutkan bahwa “the goals of
discipline, once the need for it is determined, should be to help students
accept personal responsibility for their actions, understand why a behavior
change is necessary, and commit themselves to change”. Hal senada
dikemukakan oleh Wikipedia (1993) bahwa tujuan disiplin sekolah adalah untuk
menciptakan keamanan dan lingkungan belajar yang nyamanterutama di kelas. Di
dalam kelas, jika seorang guru tidak mampu menerapkan disiplin dengan baik maka
siswa mungkin menjadi kurang termotivasi dan memperoleh penekanan tertentu, dan
suasana belajar menjadi kurang kondusif untuk mencapai prestasi belajar siswa.
Keith Devis
mengatakan, “Discipline is management
action to enforce organization standarts” dan oleh karena itu perlu
dikembangkan disiplin preventif dan korektif. Disiplin preventif, yakni upaya
menggerakkan siswa mengikutidan mematuhi peraturan yang berlaku. Dengan hal itu
pula, siswa berdisiplin dan dapat memelihara dirinya terhadap peraturan yang
ada. Disiplin korektif, yakni upaya mengarahkan siswa untuk tetap mematuhi
peraturan. Bagi yang melanggar diberi sanksi untuk memberi pelajaran dan
memperbaiki dirinya sehingga memelihara dan mengikuti aturan yang ada. Orang
yang tidak suka dengan aturan/disiplin suatu institusi maka sebaiknya tidak
usah mamaksakan diri masuk ke institusi itu. Apalagi tidak ada yang memaksa
masuk sekolah.
Sejauh ini, sistem
pendidikan kita sudah baikkah? Sistem Pendidikan Nasional masih saja mencari
format yang tepat. tidak heran kalau kurikulum selalu bongkar pasang. Namun, itu
adalah kewenangan pemerintah. Apapun kurikulum yang dipakai sejak dulu,
disiplin sekolah tetap jadi prioritas. Tanpa disiplin sebuah sistem akan berantakan.
Sejenak mengutip pemikiran Moles, Joan Gaustad (1992) mengemukakan: “School discipline has two main goals:
(1) ensure the safety of staff and
students, and (2) create an
environment conducive to learning”. Sedangkan Wendy Schwartz (2001)
menyebutkan bahwa “the goals of
discipline, once the need for it is determined, should be to help students
accept personal responsibility for their actions, understand why a behavior
change is necessary, and commit themselves to change”. Supaya semua pihak
dapat memahami seputar koherensi antara
disiplin dengan perlindungan kepada anak. Alangkah baiknya jika kembali membaca
UU. No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 16 (1) mengatakan bahwa setiap
anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Pasal 19 Setiap anak berkewajiban
untuk menghormati orang tua, wali, dan guru, mencintai keluarga, masyarakat,
dan menyayangi teman, mencintai tanah air, bangsa, dan negara, menunaikan
ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, dan melaksanakan etika dan akhlak yang
mulia.
Satu hal yang menjadi
pertanyaan ketika anak dididik untuk melaksanakan kewajibannya sesuai dengan
pasal 19, lalu dibenturkan dengan pasal 16? Apakah cubitan dan pemotongan
rambut termasuk kategori tindakan tidak manusiawi? Pasal 13 dalam UU. PA. bisa
menjadi "pasal karet" jika tidak ada penjelasan dan batasan-batasan
yang jelas.
Pasal 13 (1) mengatakan setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali,
atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun
seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan,
dan perlakuan salah lainnya. (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak
melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Harapan masyarakat pendidikan tertimpu pada hukum Indonesia melibatkan nurani dalam kebijakannya. Sehingga hukum Indonesia tidak dikatakan bayaran. Otomatis, setiap yang punya uang akan menang dalam perkara. Hal itu tentu tidak diinginkan. Sebelumnya diberitakan hal serupa, tentang siswa yang dicubit oleh guru pada bagian atas perut, tepatnya bawah ketiak sebelah kiri dengan tangan kanan. Penyebabnya, sudah dua kali siswa tidak mengerjakan ulangan sehingga dia mendapatkan nilai nol. Akibat cubitan itu, guru dilaporkan oleh orang tua siswa. Melihat itu, orangtua siswa yang notebene adalah orang yang beruang, meminta puluhan juta sebagai uang damai. Bila uang diberikan, maka laporan kepada pihak berwajib akan segera dicabut. Cubitan guru itu tujuannya mendidik. Cubitan sayang seorang guru, tidak ada niat mencelakai, melukai dan melakukan kekerasan. Bukti bahwa orang yang punya uang dapat memaksakan kehendaknya terhadap hukum. Let's be smart. Sekolah tidak mengekang siswa, melainkan memberikan kebebasan asal dalam koridor. Dimana pun aturan pasti selalu ada. Apalagi di sekolah yang diberi tugas membentuk karakter positif yang sangat penting untuk masa depan siswa itu sendiri. Setidaknya tidak ada yang menilai bahwa guru-guru bodoh, apalagi merasa anak-anak tidak diberi sedikit kebebasan.*
Komentar
Posting Komentar