Belajar dari Batu dan Air Hujan



Segenap manusia bersyukur hujan terus turun dengan santun. Bukan seperti malam itu, kilat saban sebentar menyambar, petir juga menggelagar. Angin juga tak mau kalah menerpa atap-atap rumah dan menumbangkan pohon-pohon. Apalagi saat itu mungkin ada manusia yang  bergelimang hiruk pikuk dunia, pikiran tak jelas dibawa kemana, juga dada  yang terluka. Hujan kali ini sungguh keihatan setia meneteskan air dari curahan pintu langit dan berjatuhan ke bumi. Sebagian dari mereka menuruni lembah dan menyiram tanah gersang. Ada pula yang langsung menemui temannya pula; di sungai-sungai kecil, danau, dan laut. Sedangkan di kota yang bersuhu panas ini, hujan turun di atas atap; atap seng, genteng dan lainnya. Aku melihat tetes-tetes hujan yang menuruni pincuran atap. Di sana ada batu yang saban waktu ditetesi oleh air hujan. Batu yang dahulu bulat kukuh atau permukaannya yang apik, kini perlahan telah membuka sedikit-demi sedikit wajahnya, sehingga terdapat lekukan dan cekungan di permukaan itu. air pun mudah menembusnya dan mengalir dengan tenangnya. Demikian kurang lebih yang terbaca dari fenomena alam yang sederhana ini.
Dari batu dan air hujan itu aku mendapat inspirasi yang begitu bermakna pada mantagi kali ini. Ada kalimat hikmah yang dapat kubagikan pada sahabat sekalian yang budiman. Kurang lebih begini bunyinya. Batu saja yang berzat padat dan keras itu, perlahan-lahan dapat berlubang oleh aliran air, atau pun tetesan air, tapi mengapa manusia yang berhati daging yang lunak itu tidak terbuka sedikit pun hatinya untuk memudahkan urusan orang lain. Memudahkan bukan berarti mengukir mainset manusia agar minta “dipermudah”. Artinya tidak ada unsur subjektivitas dalam melakukan interaksi dengan siapa pun. Namun mengutamakan unsur objektivitas dalam menjalin hubungan pada siapa saja dengan hikmah dan kebijaksanaan.
Manusia dalam kesehariannya bergaul dengan lingkungannya. Seorang anak dengan orangtuanya, pelajar dan pendidiknya, seorang siswa dengan gurunya, seorang karyawan dengan pimpinannya, juga seorang mahasiswa dan dosennya. Semua menjalani proses aktivitasnya sesuai dengan tugasnya. Namun, seiring berjalannya proses tersebut, tak jarang seorang “bawahan” melakukan kesalahan dalam bertugas. Itu hal yang lumrah, sebab manusia tidak akan terlepas dari kesalahan dalam hidupnya. Tak jarang pula setelah itu “bawahan” tadi menuai kritik pedas dari “atasannya”. Bukan arahan dan bimbingan yang menguatkan hati, malah cercaan yang menyurutkan perasaan. Sungguh fenomena yang memprihatinkan.
Di sini ada pula yang diketahui sebagai krisis kepercayaan. Apakah manusia selalu dan selalu bisa mempertahankan kepercayaan seumur hidup? Tidak ada yang bisa menjamin. Nah, ketika seseorang sempat khilaf dalam melaksanakan tugas dan amanah, maka orang yang memberikan kepercayaan itu, sama sekali tidak menaruh hati sedikit pun pada orang itu. orang macam apa ini? Apa ia tidak pernah bersalah dan menganggap dirinya paling berkuasa dan mulia? Sungguh begitu kerdil mainstrem orang seperti itu. Setidaknya apabila orang yang bersalah dan mengakui kesalahan yang selanjutnya mau memohonkan maaf atas kesalahannya, maka sikap terbaik adalah memberikan maaf dan menuntun lagi ke jalan yang benar, bukan jalan yang semakin membuat orang lain tersudut dan semangatnya surut, bahkan semakin rendah di mata orang lain.  
Seringkali terdengar bahwa banyak di antara teman-teman sepergaulan yang menceritakan pengalaman buruknya dalam diberikan nasehat. Sebenarnya bukan pula nasehat, sebab di dalamnya bukan ada unsur menyejukkan hati dan membuka pikiran, malahan yang ada mempermalukan seseorang bersalah di depan orang banyak. Mau dibawa ke mana muka ini? bahkan yang lebih parah lagi, orang yang memarahinya itu kelewatan bicara. Semena-mena memijak-mijak harga diri orang dan tidak mempertimbangkan barang sedikit pun akan perbuatannya itu. Orang tua kita saja, mungkin tidak pernah memarahi sampai demikian hinanya dan rendahnya di hadapan orang lain. Ini di depan umum, bahkan sempat didengar orang-orang terdekat pula. Hilanglah kepercaan sahabat terdekatnya, musnahlah bakti dan pengabdian yang menjadi citra selama ini. Hanya dengan cercaan dan marahan sebentar saja, sirna citra selama ini. Dengan suara keras (bisa jadi terdengar sangat jelas di telinga orang-orang lain, sebab padanya masanya tiba, saat suasana yang mulanya bergerumul menjadi senyap ketika suara tinggi itu dimuntahkan), ia dengan leluasa mengungkit dan mengumbar kesalahan yang dilakukan “bawahan” tadi. Segala yang terlintas di kepalanya dikeluarkan begitu saja.
Sebenarnya bukan masalah malu atau tidak malu, bukan pula masalah citra dan harga diri. Namun, coba sedikit bijak dalam menghakimi seseorang. Ibarat rumah, ado biliak gadang, ado pulo biliak ketek (ada bilik besar dan ada bilik kecil). Ibarat sawah, ado pematang lapang, ado pulo pamatang sampik  (ada pematang lapang dan ada pematang sempit). Lebih buka mata lagi. Ini ruang terbuka, semua orang bisa berprasangka lain terhadap tersalah. Banyak pula dikhawatirkan asumsi negatif yang muncul pasca kejadian tersebut. Kecuali hal itu dilakukan di ruang tertutup dan hanya ada dua orang yang cukup berwenang menyelesaikan masalah itu. Mau dihina dan dicerca, bahkan dipukul pun tak begitu masalah, sebab cukup orang itu yang tahu. Entah kalau ia nanti akan bercerita pula pada rekan lainnya atas kesuksesannya dalam merendahkan harga diri orang lain dengan ekspresi marah yang angkuh itu.
Sahabat, barangkali kita pernah mengalami hal ini. Suatu kondisi ketika harga diri ini entah berada di mana. Bahkan kepala ini serasa diludahi berkali-kali tapi tak bisa membalas. Bersabarlah akan ujian itu jika datang menimpa diri. Diamnya kita bukan berarti diam tanpa ikhtiar di masa mendatang. Melainkan terus menanamkan tekad dan melihatkan bukti nyata suatu saat nanti, ada masanya roda itu akan berputar. Berputarnya roda terkadang ia di atas, dan tidak tertutup kemungkinan, ia nanti juga berada di bawah kita. Agaknya sahabat sudah begitu paham akan filosofi roda ini. Mungkin saat ini kita yang dalam kondisi terpuruk, bisa jadi suatu saat nanti ia yang berada di posisi jauh lebih terpuruk dari pada yang kita alami ketika “masa tunduk” itu.
Sebab selama bumi masih berputar, berarti masih ada harapan untuk terus memperbaiki diri untuk lebih baik, sebab belajar itu merupakan sebuah cara manusia. Ya, cara mamanusiakan manusia. Termasuk belajar etika menasehati siapa pun. Setiap nasehat, apakah itu hanya marahnya seseorang, ketidaksukaan orang, pelampiasan dendam seseorang, setidaknya menjadi bahan pelajaran yang perlu kita ambil hikmahnya.
Barangkali ketika itu ia sedang dalam tekanan yang sama dari atasannya, atau ia punya masalah internal keluarga yang terbawa emosi, yang akhirnya kita dapat pula getahnya. Dasar manusia dengan seenaknya menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk melihat orang di dalam mata dan nafsunya sendiri, bukan malah melibatkan hati dan pikiran. Sadarlah, doa orang yang teraniaya itu cepat atau lambat dapat dikabulkan oleh Allah SWT. Doa ini pun harus hati-hati, jika doa itu seperti ini, “Tuhan, hamba mohon sakit hati ini dihunjamkan pada orang itu, buatlah orang itu merasakan harga dirinya jauh lebih diinjak-injak dan mukanya dicoreng sehitam-hitamnya.” Siapa yang akan bertanggungjawab apabila hal itu benar-benar terjadi kelak? Waspadalah, lidah memang tidak bertulang, tapi goresan lukanya sungguh tiada terbilang. Dari air hujan yang santun dan batu yang berlobang kita belajar lebih bijak menasehati orang. ***


(Dodi Saputra, Ketua Forum Lingkar Pena Sumatera Barat

Komentar