Riwayat Toga Hitam
Cerpen Dodi
Saputra
Sebuah
pagi yang menggigil tak menyurutkan langkahnya. Pakaian serba rapi dan tak tertinggal
sebuah toga hitam. Toga hitam itu dipasangkan di kepala Ridi. Sempat ia
tersenyum simpul melihat dirinya di cermin. Betapa tidak, baru kali ini ia bisa
melepas beban-beban yang terikat di pundaknya. Ya, beban yang dititipkan
orang-orang kampung, beban dari adik-adik, juga beban selama duduk di bangku
sekolah. Semua ikatan itu terasa lepas dari tubuhnya saat ini. Tetapi tidak bila
esok tiba. Beban yang satu ini berdatangan silih berganti. Sebuah beban untuk
masa datang telah menanti, tepat saat upacara nanti berakhir.
Senyum
sang raja pagi semakin meninggi, memancar tepat di pipi-pipi mereka. Bila
hendak tahu wajah mereka, engkau bisa melihat sebuah kerumunan orang-orang
bertopi hitam. Ya, mereka telah menamatkan kuliah. Satu topi hitam itu milik Ridi.
Betapa ia ingin memperpanjang hari itu. Hari yang membahagiakan. Tapi turut
pula menyelinap bayang-bayang kelam di kepalanya. Demikian pula buat keluarga
dari kampung. Mereka datang berkat mobil berkursi enam itu. Mobil yang entah
datang dari mana. Setahu Ridi, jarang ada mobil di kampung. Kalau pun ada, itu
milik kepala desa. Terbayang susah pula untuk bisa meminjam, apalagi dibawa ke
kota. Itu baru satu dari bayangan yang berlari dari pertanyaan ke pertanyaan
lain.
Topi-topi
hitam itu berjejer rapi. Mereka menjalani upacara bersama suara-suara dan
nyanyian khidmat. Aliran bening turut mengalir di beberapa pipi mereka. Entah
apa yang ada di kepala mereka. Mungkin terlalu memelas dada mereka, bisa jadi
teringat orang tua, atau menatap getirnya hari-hari mendatang. Oh, mereka
benar-benar di persimpangan jalan. Tinggal meniti arah mata angin yang membawa
dirinya.
“Kau
makin kurus, Nak.”
“Ya,
Yah. Ridi jarang makan dan sering lembur.”
Ri tersenyum simpul. Ia terus berusaha tampak bahagia
di hadapan keluarga.
“Oh
ya, kapan berangkat dari kampung, Bu?”
“Kami
berangkat kemarin, Nak.”
Sesaat Ri menatap mobil. Tampak kaca depan dan samping
yang pecah, juga lumpur jalanan yang melekat di sekitar roda.
“Bu,
mengapa kaca mobil itu pecah?”
“Oh,
itu memang dari pinjam sudah pecah.” Ayah dan ibunya saling bertemu mata.
Ri tahu benar itu mobil kepala desa. Selama ini, ia
tak pernah melihat mobil sampai seperti itu. Setahu Ri, mobil kepala desa
selalu terawat dan bersih. Kepala Ri penuh tanya. Tak berapa lama, ia baru
teringat. Perjalanan dari kampung ke kota tidaklah mudah. Ada banyak pesawangan
di sepanjang jalan. Gelap dan tak jarang lobang. Apalagi akhir-akhir ini kabut
asap semakin tebal saja. Oh, tidak! Peluang besar mobil itu dilempari batu oleh
orang-orang jahat. Ri ingat betul malam itu, semasa Ayah mengantar Ri mendaftar
kuliah ke kota. Ketika melewati jalanan gelap, tiba-tiba terdengar benturan
keras di kaca depan dan jendela samping mobil. Untung saja batu-batu itu tak
sempat menyentuh kepala Ri. Tetapi pelipis ayah sempat berdarah olehnya.
Cukuplah
Ridi yang membatin melihat keadaan ini. Ia mafhum betapa masa lalu adalah
kenangan pahit yang melecutnya. Ia tak dapat menahan aliran bening membasahi
pipinya. Belum lagi dengan apa Ayah mengirimi uang setiap bulan, juga ibu yang
mengirimkan sambal lewat mobil tujuan kota. Sementara Ayah hanya menanam
sayuran dan Ibu mencuci kain tetangga. Pipinya semakin basah. Ia mengambil sapu
tangan di tas kecilnya. Cukup sekali usap, pipinya kering kembali. Matanya
berkedip-kedip sembari menatap ayah dan ibu. Badannya lemah dan
bertambah-lemah. Matanya berkunang-kunang dan semuanya gelap. Ya, demi mengejar
jam upacara toga hitam, ia rela melewatkan sarapan pagi. Padahal itulah yang
selalu diingatkan Ibu selama masa sekolah di kampung dulu. Semua kebiasaan
makan di kampung ternyata sudah jauh berubah selama di kota. Tugas-tugas yang
menumpuk, pulang senja, dan badan yang letih membuatnya tak bisa untuk sekadar
memasak. Ia lebih memilih membeli sambal yang hanya cukup untuk satu atau dua
kali makan. Tulang di pipi dan keningnya semakin tampak saja hingga
kepulangannya di kampung halaman.
***
“Hei,
Ridi, kau sudah tamat kuliah?” Tanya tetangga sebelah.
“Iya,
memang ada apa, Bi?”
“Kenapa
masih di rumah?” Kau tak bekerja?”
“Belum,
Bu. Aku...”
“Percuma
sekolah tinggi-tinggi, pulang-pulang jadi pengangguran!”
Ri
lebih memilih menunduk dan menahan perih di dadanya. Seperti sayatan yang menyisakan
luka menganga. Sulit untuk sembuh, susah kembali seperti sedia kala. Hari
berlalu semakin cepat, sementara pekerjaan tak kunjung datang. Ia tak tahu
kemana harus membawa dirinya. Sesaat, ia melihat Nita dengan sepeda motor baru
melewati halaman rumahnya. Ia juga sudah lulus kuliah. Tetapi ada yang berbeda
dengannya. Tampilannya seperti pejabat saja. Ia mengenakan pakaian dinas. Rapi
dan berwibawa. Bahkan, untuk menyapanya pun, Ridi berpikir berulang-ulang.
Untung saja Nita tak sempat melihat ke arahnya. Nita melintas begitu saja
meninggalkan sisa roda. Ia tahu persis dengan Nita. Ia teman bermain lompat
tali masa kecil dulu.
Ridi
menyaksikan hari membuka dan menutup. Termasuk hari ini, ia membuka pagi agak
berat. Entah apa yang ada dalam kepalanya, sehingga semalam susah tidur dan
gelisah tiada menentu. Ia pun tak ingat betul waktu matanya mulai tertutup.
Seingatnya, ia masih memegang pena dan mencoret-coret buku harian. Tak
disangka, ia menulis nama seseorang. Agi. Ya, dialah orang yang menyesaki dada
dan kepalanya saat ini. Pria yang tak kunjung henti mengambil hati. Bukan hanya
hati, juga diri. Ia menanti jawaban dari mulut Ridi. Lebih dari empat tahun. Ia
menggarap ladang sayur di kaki bukit. Tak sempat ia lanjutkan membaca buku
apalagi merantau ke tanah seberang. Sebidang ladang mau tak mau harus ia
kerjakan. Ayah yang terduduk lunglai sepanjang hari, ibu yang tak tahu kapan
nasi harus tanak, juga sambal yang semestinya terhidang. Tak jarang Agi pulang
tengah hari dengan sambutan kosong. Tak ada piring, apalagi semangkuk lauk di
meja makan. Ia mesti menanak nasi sepulang dari ladang. Padahal, cacing di
perut telah berteriak berkali-kali sejak matahari sepenggalah.
Ridi
tak tahu harus berkata apa. Ayah dan Ibu bahkan tak tahu sejauh ini jalan yang
telah mereka tempuh. Mereka telah terlanjur mengukir janji. Sepulang dari
rantau, ia harus siap menjadi teman sepanjang hidup. Ya, serupa rencana masa
depan, namun tak berikatan. Ia semakin tak kuasa ketika waktu begitu cepat
berlalu. Ia berpikir sebelumnya, mungkin ketika di rantau bertahun-tahun, Agi
bisa terlupa, sudah tak tahan lagi, dan tertarik pada perempuan lain. Jadi, ia
pun bisa mengalihkan perhatian dan bisa bebas dari itu semua. Seingat Ri, ia
tertarik, sebab ia berparas putih. Satu lagi, juga ketika ia mengendarai sepeda
motor barunya. Ia menduga lelaki itu anak orang kaya. Sampai terucap rencana
besar itu. Ya, bersanding setelah pulang ke kampung. Hari-hari berlalu serba
tak menentu. Sementara tulang-tulang di wajah Ridi semakin menonjol saja.
***
Rici,
adik pertama Ridi pulang mengajar. Ia masuk rumah dengan senyum simpulnya.
Sepanjang langkah dari pintu depan hingga dapur, ia bernyanyi riang. Tampak ada
sesuatu di balik wajahnya yang bulat dan tertutup jilbab itu.
“Ci,
kau riang sekali, ada apa?”
“Minggu
depan dia ke sini.”
“Dia
siapa?”
“Mbak
memang belum tahu, tapi nanti juga tahu.”
Ridi
hanya bisa memandangi adiknya sampai hilang di balik tirai kamar. Masih saja
terdengar nyanyian itu. Ia tahu benar, ini bukanlah hal biasa. Tak pernah
adiknya seriang ini. Setahu Ridi, adiknya selama ini pendiam dan menjaga suara,
apalagi pandangannya. Ia hanya mengisi hari-hari dengan bekerja dan tak jarang berkumpul
dengan teman-teman dekat saja saban minggu. Tak lebih dari itu. Bahkan, untuk
sekadar keluar rumah pun, ia perlu sekitar beberapa menit untuk memakai kaos
kaki dan merapikan kerudungnya. Tak peduli cuaca dingin atau panas, ia tetap
seperti itu. Ridi berharap semuanya baik-baik saja. Meskipun ia tak bisa
seriang adiknya saat ini.
***
Ridi
hendak masuk ke kamarnya. Pandangannya menangkap Ayah, Ibu, dan Rici di ruang
keluarga. Mereka bertatapan mata dan berlinang air mata. Kening Ridi mulai berkerut
melihat keadaan ini. Ia tetap menahan tatapannya.
“Ayah,
Ibu, Rici mohon doa restu.” Pipinya basah dan semakin basah.
“Ya,
Nak. Kami merestui.” Ibu membelai lembut wajahnya yang teduh itu.
Mata Ridi semakin lebar mendengar ucapan mereka. Ia tak
percaya hal ini. Tetapi ini bukanlah mimpi. Ia benar-benar tak menyangka bahwa
secepat itu adiknya mengakhiri masa kesendirian. Ia merasa malu dengan dirinya.
Ia sebagai kakak yang sudah sekolah tinggi-tinggi tak tahu akan melangkah ke
mana, berpasangan dengan siapa, juga tak bisa memutuskan sebagaimana adiknya
saat ini.
Ingatannya
kembali pada Agi. Selepas mendapat toga hitam itu, Ri dijejali dengan
pertanyaan-pertanyaan di ponselnya hampir saban hari. Berbeda semasa sekolah
dulu, ia bisa mengandalkan sekolah sebagai alasan. Ya, menunda hari jadi
mereka. Semua itu terasa menusuk-nusuk benak. Ia masuk kamar dengan kepala
menggeleng-gelang. Matanya berkunang-kunang dan semuanya terasa gelap.
Rici
mendapati kakaknya rebah di kasur. Tak biasa, cepat sekali kakaknya istirahat
malam ini. Sebuah malam yang menjadi peraduan keduanya. Rici sengaja tidur di
sebelah kakaknya untuk malam ini. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk
menimpanya. Sebab, wajahnya tampak tak seperti biasa. Akhir-akhir ini, ia juga
merasakan sesuatu yang beda pada kakaknya. Mulai dari tubuh, wajah, dan sikap. Ingin
sekali berbagi kabar baik, namun takut tersakiti atau setidaknya tersinggung. Menimbang-nimbang
rasa menjadi tugasnya saat ini. Mendahului menempuh hidup baru salah satunya.
Ungkapan ini mau tak mau harus disampaikan. Apa pun yang terjadi, ia siap.
***
“Maaf
Mbak, Ci hendak menikah.”
“Tak
apa-apa. Silakan!” Wajah yang diperkirakan itu muncul.
Begitu keluar ucapan itu, sebagai adik, Rici harus
menyiapkan bekal buat melangkahi kakaknya. Sebuah kebaya dan sepatu. Itulah pembuka
pintu sampai keduanya bisa bersanding di pelaminan. Benar. Hari itu tiba.
Bersandinglah mereka dalam siang yang terang dan malam yang hangat. Itulah buah
yang terjaga. Tumbuh dari akar yang kuat, batang yang kokoh, berdaun lebat,
juga buah yang tak terjamah. Demikianlah Rici memberikan buah pada suaminya.
Ridi
menatap keduanya lekat-lekat. Terlintas pertanyaan demi pertanyaan tentang
hasrat. Ya, ia tak bisa membohongi itu. Menyaksikan setiap masa bersama mereka
membuatnya semakin tak bisa bertahan. Kesendirian mengisi kamar, kesepian tutur
kata, kesunyian dipecah suara serangga malam, juga tengah malam yang menggigil.
Ruang kamar itu tak henti-henti menggoda untuk lekas mengakhiri kisah sepi.
Sampai berganti tahun pun, ia tak jauh dari keseharian. Tak ada pilihan lain.
Hasrat bertemu hasrat tak dapat dielakkan. Hingga sampai jualah sebuah rasa
yang mesti sampai pada Ayah dan Ibu.
“Ibu,
Ayah, aku dilamar Agi.”
“Kau
telah timbang semuanya, Ri?”
“Sudah,
Bu.”
Ayah
dan Ibu bertemu mata. Mereka tahu persis perihal lelaki itu. Sebuah suasana
penuh asap setiap ia datang ke rumah. Ya, sepulang dari kota, Agi kerap ke
rumah sekadar melihat dan menanyakan kabar Ridi. Ayah mungkin tak begitu ambil
pusing, sebab samalah perangainya. Dapat teman penghisap asap. Tentu mereka
semakin bebas. Tapi, Ibu tak demikian. Kalau hendak mengistilahkan Ibu, dialah
orang yang paling tak tahan pada asap itu. Ya, kepulannya memenuhi ruang tamu.
Tak jarang Ibu batuk-batuk setelah kepulangannya dari rumah. Lelaki itu pun tak
tahu rasa. Semoga saja, ini bukanlah hal yang membuat ibu setengah hati menanyakan
kesungguhan pada anaknya.
Tak
hanya itu, Ibu punya satu pertanyaan. Ya, bila tak ditanyakan kali ini, bisa
jadi akan timbul banyak gejolak semasa hidup anaknya. Ini tentang masa datang. Ibu
tahu benar tentang seberapa asinnya garam, ia pun paham betul seberapa pedasnya
cabai. Ibu telah mengecap semua rasa itu. Ia ingin memastikan bahwa hasrat
anaknya ini memanglah bersih dan terbebas dari ikatan apa pun. Tak ada kata
lain yang menjadi alasan untuk mengakhiri masa kesendirian, sebab telah berusia
mendekati kepala empat. Orang-orang kampung bilang, usia itu susah mendapat
benih-benih subur. Jika ada, itu adalah berkat nasib mujur sedang bersamanya.
Keseharian
Ri habis di rumah; bersih-bersih, lelap-lelap, dan makan-makan. Ibu tak jarang
melihat dari dapur perihal kelakuan anaknya. Sejak permulaan diantar sekolah di
rantau, dalam benak Ibu yang ada adalah anak bungsunya itu saat ini menjadi
orang. Setidaknya berpenampilan harian layaknya pekerja kantoran atau
sebagainya. Tentu ibu juga sudah tahu bagaimana masa datangnya untuk hari ini
dan seterusnya. Tetapi sekarang bukanlah yang seperti yang diharapkan. Tak ada
beda dengan anak tetangga di kampung sudut yang hanya tamat sekolah menengah. Ya,
mengisi rumah, menjaga rumah, dan menanti orang yang datang menjemput ke rumah.
Ibu
hanya bisa menadahkan tangan di sepertiga malam. Semua anaknya hidup bahagia.
Bukan sebaliknya, seperti masa-masa sulit orang-orang kota yang ada di
televisi. Sebentar bersatu, sebentar pula berpisah. Sungguh tak terbayangkan
bagaimana gelas pecah dan susah untuk disatukan kembali. Timbul kembali
pertanyaan itu. Ya, harus terucap saat ini juga.
“Ri,
kau tahu hidupmu setelah menikah?”
“Maksud
Ibu?”
“Kau
akan dibawa lelaki itu ke ladang. Hari-harimu akan habis di sana.”
“Ya,
sudah kupikirkan semua itu, Bu.”
Lepas semua pertanyaan itu. Tak ada yang tersimpan di
kepala ibu. Ia telah mendengarkan jawaban dari setiap pertanyaan itu. Hanya
memastikan saja, tak lebih dari itu. Sebab, kekecewaan akan timbul kemudian.
Demikian pula dengan penyesalan, tak akan pernah muncul di awal masa. Inilah
masa yang indah menurut Ridi. Ya, bersandinglah keduanya berselang enam bulan
setelah adiknya. Semanis-manis wajah ayah, ibu tak semanis itu. Guratan di
kening Ibu sesekali muncul. Entah apa yang ada dalam kepalanya. Ibulah orang
yang paling memikirkan akan masa datang anak-anaknya. Entah ada apa di
kepalanya, semacam kerisauan masih singgah di dadanya.
***
Alif, putra pertama Rici telah lahir. Rumah Ibu dan
Ayah serasa ada angin segar yang senantiasa bersemilir, juga serupa cahaya
terang berpendar hingga membuncah di langit-langit. Orang-orang berdatangan,
membawa kado, amplop, juga semacam bingkisan. Termasuk Ridi dan keluarga
suaminya dari kampung. Ibu hari ini adalah perempuan paling bahagia semasa
hidupnya. Tak pernah rumahnya seramai ini. Pernah juga ramai saat pernikahan
anaknya, Rici setahun silam. Orang-orang yang lewat di depan rumah tak jarang
memanggil-manggil nama cucunya, juga menanyakan sudah bisa apa saja cucunya. Ibu
seakan kehilangan masa lampau yang serba sulit, dihapus angin surga yang dibawa
bersama cucunya yang semakin besar saja.
Ridi berusaha memasang wajah riang. Tetapi jelas
sekali, tak seriang wajah Ibu yang asli. Ridi menimang Alif dengan kemampuannya
semasa praktik di sekolahnya dahulu. Wajar saja bila Alif mudah lelap bila
dalam dekapannya. Inilah mimpi yang sebenarnya amat dinantikannya. Ya, punya
momongan, apalagi laki-laki. Sebab, dalam silsilah keluarganya tak ada anak
laki-laki. Hadirnya Alif seakan memberi harapan baru buat Ridi menambah satu
lagi cucu buat Ibu. Sayang, angan itu hanyalah angan sampai saat ini. Benih
yang tertanam di perutnya tak kunjung bertunas. Telah banyak pupuk dan
perangsang lain buat munculnya tunas, tapi tak ada yang mujarab. Ia hanya menahan
angan itu dan terus menahan hingga ia pulang ke kampung suaminya.
***
Cukuplah Alif mandi dan tidur dua bulan bersama Ibu.
Bulan depan ia harus kembali ke rumahnya di kota. Rici kini telah pandai
memandikan anaknya. Tak perlu lagi bimbingan Ibu. Sedari terbangun menjelang
subuh masuk, hingga lelap di malamnya, Ci telah mafhum memperlakukan anaknya.
Sekilas pikirannya teringat kakaknya di Kampung Ladang. Diambilnya ponsel dan
segera memanggil. Ibu tak tinggal diam, diambilnya kursi dan duduk manis di
sebelah Rici. Rupanya inilah masa yang tepat itu. Perbincangan bermula kabar. Tak
seperti biasanya, Ridi berkata sambil menangis pada Ibu. Sedikit rahasia ia
ungkapkan. Ini ungkapan asli dari seorang Ridi yang telah dikenal Ibu sampai
saat ini. Ia mengutarakan keadaannya di rumah. Kesendirian dari pagi hingga
petang adalah teman sejatinya. Ia kerap dijauhi kerabat seperanakan suaminya,
makan tak makan urusan sendiri, tak ada obrolan sehangat ibu, tak ada makanan
seenak masakan ibu, sebab makan hanya berteman kentang, dan sayur-sayur, susah
bertemu daging, atau buah-buahan. Tak salah bila ia kini kelihatan kering dan
menonjolkan tulang pipinya. Belum lagi bila ia sendiri di rumah seharian, di
tinggal sendiri bila mendatangi kerumunan Ibu-ibu atau tetangga. Mereka pergi
begitu saja bila ia datang menghampiri. Entah salah apa hingga mereka tak mau duduk
bersama. Butuh teman bicara, juga tak bisa diam untuk hari-hari mendatang.
Ia semakin bebas mengeluh, dalam perbincangan ini, ia
merasakan dalam dekapan hangat Ibu. Ia bisa merasakan betapa ia manja semasa
kecil dahulu. Kini di Kampung Ladang begitu terik, namun rumah Ri terasa larut.
Ya, tubuhnya larut dalam kesendirian hari-harinya. Hanya sesaat ia ditemani
suami di rumah, lantas pergi lagi entah ke mana. Apalagi tak ada pertanda
tumbuhnya benih yang ditanam. Ya, seperti menanti perjalanan panjang yang tak
kunjung tiba masa akhirnya.
Ibu hanya berkata,
“Ingat dengan janjimu, Ri!”
Demikianlah
Kampung Ladang dengan kesehariannya; menyabit rumput, menanam palawija, dan sedikit
sayur-sayuran di pekarangan rumah. Tak ada pemandangan selain hijau yang
semakin menghijaukan matanya. Ada baiknya pula, bila ke sini buat mengingat
perihal sebuah janji. Ya, seperti ungkapan yang dibawa angin saja, sekali
terlontar, namun mudah saja untuk menghilang.* (Bukittinggi, 2022)
(amikom.ac.id)
Komentar
Posting Komentar